PERAN UU ITE DALAM MENJAGA DAN MEMBANGUN KESADARAN HUKUM DALAM MENGGUNAKAN MEDIA SOSIAL
Kesadaran Hukum sangatlah penting bagi tiap Masyarakat, Pemerintah selalu menghimbau agar masyarakat bijak dan berhati-hati dalam menggunakan media Sosial. Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) membuat hukum Indonesia memasuki era baru. Hadirnya UU ITE ini dimaksudkan untuk menjawab segala permasalah hukum yang sering dihadapi di dunia siber terkait penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik. UU ini juga diharapkan mampu mengatur segala urusan di dunia siber. Sebagai pelopor hukum siber di Indonesia, UU ITE masih memiliki berbagai kekurangan dalam pelaksanaannya. Sehingga efektifitas dalam rangka melindungi aktivitas siber di Indonesia masih belum dapat tercapai. Namun, untuk mencapai tujuan dari UU ITE agar efektif dan tepat guna, perlu adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Sinergitas inilah yang nantinya dapat mewujudkan prinsip check and balances yang seutuhnya. Biar bagaimanapun pelaksanaan hukum dalam aspek empiris memang wajib dikawal agar marwah dari hukum itu sendiri dapat dijaga. Adanya UU ITE diharapkan akan membuat individu lebih berhati-hati sebelum ber-media sosial, karena jika terbukti melakukan kesalaham maka dapat dipidanakan.
Perkembangan teknologi informasi maupun komunikasi sangatlah cepat dan telah nyata ada . Kehadiran teknologi informasi mulanya hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu saja, namun dewasa ini hampir seluruh elemen masyarakat bisa ikut menikmatinya. Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi informasi seakan memanjakan kita. Pasalnya, bertransaksi jarak jauh tanpa uang tunai kini bisa dilakukan secara praktis, yakni dengan hanya memencet layar smartphonesaja. Selain itu untuk berinteraksi dengan orang lain lintas daerah dan negara, kini bukan hal mustahil. Setiap individu dimanapun ia berada dengan hanya bermodal gawai yang terhubung dengan internet, ia dapat dengan instan mengakses dan memperoleh berbagai macam informasi yang diinginkan.
Tak hanya membawa dampak positif, perkembangan teknologi dan informasi juga membawa dampak negatif bagi kehidupan manusia. Pesatnya perkembangan teknologi dan informasi seakan menghancurkan batas-batas negara (borderless). Dengan tidak ada batas antar negara, membuat dunia menjadi sempit dan mudah untuk diakses karena saling terhubung. Namun hal ini tidak dibarengi dengan kesiapan sumber daya manusia yang memiliki keahlian serta pemahaman terhadap teknologi dan informasi yang merata (Samudra, 2020).
Menurut Soekanto, munculnya berbagai teknologi mengakibatkan adanya pergeseran di dalam masyarakat. Hal tersebut bisa dari segi nilai-nilai sosial, pola-pola perilakuan, kaidah-kaidah sosial, organisasi, serta susunan lembaga kemasyarakatan. Dengan hadirnya revolusi teknologi informasi, membuat hukum dipaksa untuk menjadi adaptif. Saat ini hukum telah memasuki rezim baru yang dikenal dengan hukum siber (cyber law) atau hukum tele. Hukum Siber digunakan sebagai istilah hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi(Febriansyah, Saidah, & Anwar, 2021).
Pada tahun 2008 pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan hukum mengenai manfaat teknologi informasi oleh masyarakat. Aturan hukum tersebut tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang elanjutnya diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UndangUndang tersebut diatur tentang perbuatanperbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh pengguna teknologi informasi atau media sosial, serta sanksi pidana dan denda yang dapat dikenakan bagi yang melanggar.
Meskipun aturan hukum dalam menggunakan media sosial telah diatur dalam UU No. 11/ 2008 dan telah diundangkan sejak tanggal 28 April 2008, namun dalam pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang melanggar aturan hukum tersebut khususnya para peserta didik. Masih banyak peserta didik yang menggunakan media sosial untuk hal yang negativ, misalnya : membuly teman dengan kata-kata yang tidak sopan, yang menunjukkan kurangnya kesadaran hukum siswa dalam penggunaan media sosial yang baik.
Hadirnya UU ITE ini dimaksudkan untuk menjawab segala permasalah hukum yang sering dihadapi di dunia siber terkait penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik. UU yang diproyeksikan sebagai cyber law pertama di Indonesia ini digadang-gadang dapat mengatur segala urusan di dunia siber. Dalam perjalanannya, UU ini telah mengalami amandemen pada tahun 2016. Amandemen UU ITE disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(Peraturan Pemerintah RI, 2016). Perubahan dilakukan terhadap 8 pasal dengan penambahan 2 pasal, diantaranya Pasal 1, Pasal 26, Pasal 31, Pasal 40,Pasal 43, Pasal 45 serta Penjelasan Pasal 5 dan Penjelasan Pasal 27.Di dalam tulisan ini akan membahas mengenai efektivitas peran UU ITE dalam rangka melindungi aktivitas siber di Indonesia.
- Pentingnya pemahaman terhadap hukum syber
Definisi hukum menurut Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup (berisi perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah (sanksi)(Kansil, 1986).
Berbicara mengenai perubahan hukum, ada anggapan yang menyatakanbahwa masyarakatlah yang berubah dulu lalu hukum datang kemudian (Sidik, 2013).Faktor yang memengaruhi perubahan tersebut sejatinya bukanlah hukum, tetapi faktor lainnya seperti adanya perkembangan teknologi informasi yang dibarengi masifnya penggunaan gawai atau alat canggih lainnya.
Rescoe Pound melalui teorinya yakni law as a tool of social engineering, dengan tegas menyatakan bahwa hukum harus menjadi faktor penggerak ke arah perubahan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya (Lathif, 2017).Maka dari itu, dalam perubahannya haruslah direncanakan dan disusun dengan baik, sehingga tujuan dari adanya perubahan tersebut dapat tercapai dengan baik pula.Meski kita tahu bahwa dunia siber adalah dunia maya atau semu, namun hukum tetap diperlukan guna mengatur setiap tindakan masyarakat. Alasannya ialah karena pengguna atau orang yang ada di dalam dunia siber itu adalah manusia asli atau nyata, dan ada kepentingan di dalamnya yang harus dilindungi. Selanjutnya, meski terjadi di dunia siber, segala transaksi di dalamnya akan berdampak langsung dalam dunia nyata, baik secara ekonomis maupun non ekonomis. Itulah mengapa pentingnya kehadiran hukum di dalam mengatur segala aktivitas di dunia siber.
- Upaya Pemerintah terhadap UU ITE
Pemerintah Indonesia sadar akan adanya bahaya jika penggunaan internet khusunya media dosial perlu adanya pengawasan dan regulasi yang mengikat hal tersebut. Oleh karena ersebut, melahirkan Undang – Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) pada tahun 2008. UU ITE bermula dengan dilakukannya penelitian untuk menyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI) oleh Universitas Padjadjaran, Institut Teknologi Bandung, dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan RI di tahun 1999.
UU ITE membawa asas-asas hukum yang baru di Indonesia, seperti asas kebebasan memilih ataupun engak dalam menggunakannya. Materi UU ITE pun juga mengenalkan cakupan hukum yang cukup baru, seperti mengakui dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah, mengakui tanda tangan elektronik, mengatur hak kekayaan intelektual di dunia digital, dan lain sebagainya.
UU ITE diharapkan oleh pemerintah dapat meregulasi tiga aspek dalam dunia digital dalam mencegah masalah dikemudian hari. 3 aspek etrsebut diantaranya ;
- UU ITE mengatur perkara e- commerce dan marketplace.
- UU ITE juga mengatur perkara akses ilegal seperti hacking, penyadapan, dan perusakan sistem.
- UU ITE yang mengatur tentang tindak pidana teknologi informasi. Hal ini mencakup konten-konten yang bersifat ilegal, ucapan berbasis SARA, kebencian, penipuan, hingga pencemaran nama baik.
Dari tiga aspek dalam dunia digital yang dinaungi UU ITE, aspek terakhir kerap menjadi dasar masalah. Banyak pasal UU ITE yang dianggap sebagai pasal “karet”, baik oleh masyarakat maupun pakar hukum sekalipun. UU ITE yang diciptakan sebagai penjaga kedamaian dalam dunia digital, mejadikan dunia digital menjadi tempat yang nyaman untuk disinggahi, namun hingga hari ini, dinilai sebagai kurungan dalam kebebasan perbendapat. Hal ini dipicu oleh mudahnya seseorang dalam melaporkan seseorang, siapapun dan dimanapun kepada pihak terkait seperti polisi dengan dalih motif pencemaran nama baik ataupun ujaran kebencian. Melihat bahwa UU ITE bermasalah, pemerintah pun berupaya untuk membuatnya menjadi lebih baik dengan merevisi UU ITE tersebut. Pada 22 Desember 2015, Presiden secara resmi memberikan naskah RUU Revisi UU ITE kepada DPR serta menugaskan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly guna menjadi perwakilan pemerintah dalam diskusi Revisi UU ITE bersama pihak DPR. Menkominfo menyatakan bahwa revisi akan dititikberatkan pada pengurangan ancaman pidana, penegasan sifat delik aduan Pada Pasal 27 Ayat (3), dan pelarasan penerapan UU ITE dengan ketentuan yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Proses pembahasan revisi diinisiasikan pada bulan Juni 2016 dengan fokus terhadap 62 daftar inventarisasi masalah. Adapun hasil revisi yang meliputi :
- Perubahan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3)
- Menurunkan ancaman pidana pada dua ketentuan pada Pasal 29 3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap dua ketentuan 4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 Ayat (5) dan Ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP
- Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalam UU ITE pada ketentuan Pasal 43 Ayat (5)
- Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten” atau “hak untuk dilupakan” pada ketentuan Pasal 26
- Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40.
- Implementasi UU ITE
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan Undang-Undang pertama yang dibuat khusus untuk mengatur tindak pidana siber di Indonesia. Undang-Undang ini telah mengalami perubahan yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.Sebagai cyber lawpertama di Indonesia, UU ITE menganut asas extra territorial jurisdictionyang termuat dalam Pasal 2 UU ini, sebagaimana layaknya cyber lawdi negara-negara lain. Jadi, UU ini tidak hanya mengatur perbuatan orang yang berdomisili di Indonesia saja namun juga berlaku untuk setiap orang yang berada di luar Indonesia, yang perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau di luar wilayah Indonesia yangmerugikan kepentingan Indonesia.
Dalam pelaksanaannya pemerintah telah menerbitkan aturan turunan dari UU ITE, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PP PSTE). PP ini merupakan pengaturan lebih lanjut beberapa ketentuan dalam UU ITE. Selain itu, terbitnya PP ini sekaligus mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.Dua belas tahun sejak diterbitkannya, UU ITE telah banyak menjerat masyarakat dalam kasus tindak pidana di dunia siber. Dihimpun dari South East Asia Freedom of Expression Network(SAFEnet), jumlah kasus UU ITE sejak tahun 2008 hingga 2019, terdapat 285 kasus (Merdeka, 2020).Data ini dilaporkan dalam laporan akhir tahun yang dirilis pada Juli 2020. Lalu, di tahun 2020 sementara tercatat ada 59 kasus UU ITE dalam rentang waktu Januari hingga Oktober. Dari kasus tersebut paling banyak terjerat oleh Pasal 27 khususnya ayat (3) yang mengatur tentang tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik, serta Pasal 28 khususnya ayat (2) tentang ujaran kebencian. Dua pasal diatas kerap kali dianggap sebagai pasal karet karena tafsirannya yang tidak pasti.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Di dalam pasal tersebut termuat kalimat penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Sedangkan dalam penjelasannya di dalam UU No. 19 Tahun 2016 berbunyi “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).” Dimana penjelasan tersebut ialah mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah. Dari komparasi tersebut, menurut hemat kami terdapat hal yang kontra-produktif, dimana dalam ketentuan pasal dan penjelasan pasal tidak memuat tafsiran yang senada.Selanjutnya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE ditegaskan mengacu pada KUHP, namun tidak diberikan Batasan secara eksplisit mengacu pada pasal yang mana. Bahwa pasal ini tidak hanya mengacu pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP saja, tetapi juga mengacu pada pasal-pasal lain yang mengatur mengenai penghinaan. Sehingga dalam hal ini, pasal 27 ayat (3) rawan terjadi multi tafsir di masyarakat.
Pasal 28 ayat (2) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.Yang menjadi persoalan adalah, di dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud antar golongan. Jika diperhatikan secara detil sebenarnya ketentuan dalam pasal ini mirip dengan Pasal 156 KUHP yang berbunyi “Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara”(Hilman, 2020).
Tafsiran terhadap istilah antar golongan cakupannya sangat luas. Putusan Mahkamah Konstitusi No 76/PUU-XV/2017, yang di dalamnya berbunyi ”bahkan melalui putusanMahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antargolongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi olehistilah suku, agama, dan ras”(Peraturan MK, 2017).Bila mengacu pada zaman kolonialBelanda, dikenal tiga golongan besar; yaitu golongan timur, golongan asing dan pribumi. Bahkan sekarang ini, istilah golongan juga dapat ditafsirkan menjadi golongan partai politik A, atau golongan pendukung gubernur B. Penafsiran yang terlampau luas berpotensi terhadap penggunaan ketentuan pidana yang diluar batas-batas kewajaran yang dapat diterima.
Walaupun telah hadir cyber lawdi dalam hukum Indonesia, tetapi dalam pelaksanaannya dunia siber tetap saja sulit untuk dikendalikan. Karena dunia siber selalu mengalami dinamika yang sulit diprediksi serta keberadaannya sulit ditemukan secara nyata tetapi dapat dikunjungi oleh jutaan pengguna di seluruh penjuru dunia setiap waktu. Kita semua menyadari bahwa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masihsulit untuk menjawab segala persoalan yang ada, sehingga dipandang perlu untuk melakukan penyesuaian hukum untuk tetap menjaga kedaulatan negara dan kesejahteraan rakyatnya.
Undang-Undang Informasi dan TransaksiElektronik merupakan pionir hukum siber di Indonesia. Upaya untuk memberikan perlindungan terhadap segala aktivitas siber patut untuk diapresiasi. Namun, dalam pelaksanaannya UU ITE masih dianggap belum efektif. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan dari UU ITE agar efektif dan tepat guna, perlu adanya kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Ada banyak informasi baru-baru ini tentang pemerintah yang perlu dikritik oleh individu. Pemerintah meminta agar daerah lebih dinamis dalam memberikan analisis kepada pemerintah untuk lebih mengembangkan pelaksanaan dan pengerjaan administrasi lebih terbuka. UU ITE dinilai belum menjamin peluang artikulasi publik dalam mencermati pemerintahan secara media online. Dikarenakan pada UU ITE masih ada pasal-pasal yang elastis sehingga membuat pemahaman yang berbeda dari perkumpulan yang berbeda. Itulah keterkaitan antara daerah dalam menegur pemerintah dan UU ITE. Oleh karena itu, penting untuk mengubah UU ITE. Tujuannya agar masyarakat pada umumnya mendapat jaminan keamanan maupun tidak terikat oleh sanksi kriminal saat pemberian informasi dan analisis kepada pemerintah sehingga dapat membuat negara aturan mayoritas.
LINK VIDIO YOUTUBE : https://youtu.be/fQsvr043Wqs
Recent Comments