UNICORN INDONESIA

Start-up merupakan istilah bisnis yang merujuk pada tahap awal merintis suatu usaha yang dibangun oleh satu/lebih pengusaha. Perusahaan start-up masih berada dalam tahap pengembangan produk/layanan dan cenderung untuk memenuhi permintaan pasar. Start-up diibaratkan seperti remaja yang sedang dalam masa pendewasaan. Jika start-up sudah matang maka bisa disebut sebagai perusahaan sesungguhnya.
Di era teknologi sekarang ini, start-up berkembang pesat sehingga tak jarang perusahaan rintisan sukses dalam kurun waktu yang tak lama. Selain itu karena start-up juga mengikuti permintaan pasar, mereka akan selalu meninjau ulang tentang apa yang diperlukan bagi perusahaannya untuk memenuhi apa yang sedang populer dan paling sering dibutuhkan untuk saat ini sesuai dengan bidang perusahaan tersebut. Dengan melihat peluang-peluang tersebut dalam bisnis start-up, hal itu juga menarik minat investor demi mendapat keuntungan dari mendanai bisnis start-up yang dirasa akan sukses kedepannya.
Perusahaan start-up terutama yang berbasis teknologi memiliki tingkatan masing-masing berdasarkan nilai valuasi dari perusahaan tersebut. Tingkatan tersebut antara lain Unicorn, Decacorn, dan Hectocorn. Singkatnya, unicorn adalah tingkat rendah (valuasi hingga Rp 14,1 triliun), Decacorn adalah tingkat sedang (valuasi hingga Rp 140 triliun), dan Hectocorn tingkat tinggi (sekitar Rp 1400 T). Jarang sekali perusahaan start-up mencapai tingkat Hectocorn karena perusahaan-perusahaan yang mencapai tingkat ini sebanding dengan Facebook, Google, Microsoft, hingga Apple dimana semua perusahaan ini sudah terkenal hampir di seluruh dunia. Bagi perusahaan start-up pada titik awal biasanya mereka akan mencapai pada tingkal Unicorn/ tingkat rendah terlebih dahulu.
Isilah Unicorn pertama kali diperkenalkan oleh Aileen Lee, seorang investor perusahaan rintisan dan pendiri Cowboy Ventures. Penamaannya ini muncul dalam artikelnya, “Welcome to The Unicorn Club” terbitan Techrunch,2013. Alasan mengapa Lee memilih menggunakan istilah Unicorn, yang juga merupakan nama hewan mitos ini karena perusahaan rintisan yang sukses tergolong cukup langka hingga sulit dicapai layaknya hewan mitos Unicorn.
Di Indonesia, perusahaan start-up pertama yang mencapai tingkat Unicorn adalah Gojek, sebuah perusahaan penyedia layanan ojek online baik mobil maupun motor. Di tingkat Asia Tenggara, Lazada yang merupakan perusahaan e-commerce lintas negara kawasan Asia Tenggara menyandang status unicorn pada tahun 2013, dimana di tahun tersebut sebanyak 21 perusahaan dalam pasar RI yang berhasil menjadi unicorn. Indonesia sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara sendiri sudah menjadi magnet bagi banyak perusahaan besar yang ingin menjadi unicorn. Momen puncak perusahaan start-up banyak yang lahir adalah tahun 2021 dengan valuasi mencapai sekitar Rp 15,1 triliun. Namun, pada tahun 2022 perusahaan Unicorn yang lahir mengalami penyusutan. Tetapi, perusahaan start-up bernama Dana berhasil menembus valuasi US$ 1 miliar pada saat itu. Selama kurun waktu tersebut banyak perusahaan start-up yang bermunculan serta berlomba-lomba menghadirkan pelayanan yang mengincar target pasar mereka yang paling dibutuhkan.
Pemicu dari pertumbuhan cepat perusahaan rintisan ini hingga sampai pada tingkat Unicorn ada beberapa faktor. Yang pertama yaitu strategi tumbuh cepat/ Get Big Fast (GBF). Berdasarkan GBF, melalui perputaran dana yang besar serta pemotongan harga dilakukan agar pasarnya lebih unggul dan pesaing berkurang. Tentu hal ini juga menjanjikan keuntungan yang meningkat pesat.
Selanjutnya yaitu akuisisi perusahaan, dimana perusahaan rintisan bergabung dengan perusahaan terbuka besar. Perusahaan besar ini akan menanam modal dan mengembangkan proyek investasi internal dan beberapa diantaranya memilih memperluas operasinya dengan teknologi dan model bisnis yang mapan. Dan beberapa alasan lainnya yaitu modal swasta, pencegahan IPO (proses yang dapat menurunkan nilai perusahaan apabila tidak dirasa tinggi nilainya), hingga pemanfaatan teknologi yang semakin maju.
Dengan valuasi seperti itu untuk perusahaan start-up, bisnis start-up terdengar seperti usaha yang sangat menjanjikan. Semakin banyaknya bisnis start-up, peluang pekerjaan pun tampak terbuka lebar. Namun, hal itu tidak berjalan seterusnya dengan baik.
Menurut berita katadata.co.id tanggal 29 November 2022, salah satu perusahaan Unicorn Fintech “Ajaib” melakukan PHK sebanyak 67 karyawan atau sekitar 8% dari jumlah yang ada. Selain untuk mengurangi jumlah pekerja, hal ini bertujuan sebagai antisipasi dampak kondisi makro ekonomi yang tidak menentu. Bagi pegawai yang di-PHK akan menerima seperti kompensasi berdasarkan UU, uang pesangon, hingga asuransi kesehatan baik staf maupun keluarga pegawai PHK tersebut.
Selain melakukan PHK karyawan, Ajaib juga mengurangi gaji manajemen. Bahkan, untuk para pendiri tidak akan menerima gaji untuk sementara waktu. Menurut pernyataan manajemen dari perusahaan Ajaib, mereka telah mempersiapkan strategi bisnis yang kuat sebagai perwujudan inklusi keuangan Indonesia.
Beberapa perusahaan rintisan yang juga melakukan pemangkasan jumlah karyawan/pegawai tahun 2022 yaitu Xendit, Carsome, Shopee Indonesia, Grab, Tokocrypto, MPL, dan lain-lain. Dan pada berita terakhir dari katadata.co.id pada 7 Maret 2023, start-up yang melakukan PHK karyawan yaitu RateS dan Zenius. Menurut Nailul Huda selaku Peneliti Institute for Development of Economic Studies (Indef), salah satu faktor keberlanjutan tutupnya start-up atau PHK karyawan dikarenakan naiknya suku bunga acuan Amerika Serikat yang agresif dalam setahun terakhir. Selain itu, karena investor asing dalam investasi digital mencapai 80%, kenaikan suku bunga ini tentu sangat mempengaruhi investasi start-up Indonesia. Maka dari itu perusahaan start-up ini melakukan efisiensi termasuk melakukan PHK karyawan/pegawai dengan jumlah tertentu. Sambil menunggu ekonomi dan investasi yang lebih baik, start-up ingin menghemat pengeluaran serta mempertahankan untuk keberlangsungan perusahaannya.
Dilansir dari Merdeka.com pada Sabtu, 11 Maret 2023, tengah marak terjadinya pemangkasan karyawan/ PHK karyawan. Menurut pengamat perusahaan rintisan/ start-up dan perusahaan teknologi, Indrawan Nugroho menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk perubahan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan apabila ingin merubah dari status unicorn menjadi perusahaan digital kelas dragon. Perusahaan dragon diartikan sebagai perusahaan digital yang lebih kuat dari sisi fundamental bisnis dan bukan hanya dari valuasinya yang besar saja.
Indrawan Nugroho mengungkapkan bahwa perusahaan rintisan diimpikan akan menjadi unicorn, namun hal itu tidak selamanya indah seperti layaknya dulu. Jika dilihat dari statusnya, unicorn hanya kuat di bagian valuasi pasar namun untuk kekuatan bisnisnya masih semu/rapuh sehingga belum bisa menjadi perusahaan yang mandiri secara finansial. Maka dari itu, perusahaan rintisan ini memutuskan untuk melakukan PHK karyawan dengan harapan saat berhasil nanti akan menjadi naga yang kuat dalam bisnis serta keuangan.
Banyaknya PHK karyawan di bisnis start-up digital tidak hanyak karena alasan ingin bertransformasinya dari unicorn menuju dragon, tapi juga karena dampak ancaman resesi ekonomi. Resesi ekonomi dapat diartikan sebagai keadaan memburuknya ekonomi suatu negara karena adanya penurunan secara beberapa selang waktu yang cukup lama. Alasan lain yang menjadikan adanya PHK karyawan secara besar-besaran juga bisa jadi karena adanya miss-management (kurangnya pengaturan/kontrol dari perusahaan yang dirintis, ditambah dengan adanya resesi ekonomi yang ada).

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

+ 42 = 43