Berita Hoax Merajalela, Bagaimana Peran Literasi Digital ?

Berita Hoax Merajalela, Bagaimana Peran Literasi Digital ?

Hoax News is Rampant, What is the Role of Digital Literacy

Rindi Agustina Hayuning Nagari

rindiagustinahn@gmail.com

Abstrak

Saat ini penyebaran berita hoax memang sering terjadi. Banyak sumber mengatakan bahwa laju penyebaran berita hoax semakin tidak bisa dikendalikan. Fenomena hoax di Indonesia menimbulkan keraguan terhadap informasi yang diterima dan mebingungkan masyarakat. Hal ini dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menanamkan fitnah dan kebencian. Mengingat media sosial adalah media yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoax. Interaksi komunikasi ini menyangkut pengirim dan penerima pesan hoax, medium yang digunakan, isi pesan dan penetapan lingkungan dan waktu yang berhubungan erat dengan proses produksi, penyebaran dan dampak hoax bagi masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa hoax paling banyak menyebar melalui media sosial. Satu sisi media sosial dapat meningkatkan hubungan pertemanan yang lebih erat, wadah bisnis online, dan lain sebagainya. Sisi lainnya media sosial sering menjadi pemicu beragam masalah seperti maraknya penyebaran hoax, ujaran kebencian, hasutan, caci maki, adu domba dan lainnnya yang bisa mengakibatkan perpecahan bangsa.

Abstract

Currently, the spread of hoax news is indeed common. Many sources say that the rate of spread of hoax news is getting out of control. The hoax phenomenon in Indonesia raises doubts about the information received and confuses the public. This is used by irresponsible parties to instill slander and hatred. Given that social media is the most widely used media in the spread of hoaxes. This communication interaction involves the sender and recipient of the hoax message, the medium used, the message content and the setting of the environment and time which are closely related to the production process, dissemination and the impact of hoaxes on society. As previously stated, hoaxes are most widely spread through social media. On the one hand, social media can enhance closer friendships, online business platforms, and so on. On the other hand, social media is often a trigger for various problems, such as the widespread spread of hoaxes, hate speech, incitement, insults, pitting against one another and others that can lead to national divisions.

Pendahuluan

Saat ini penyebaran informasi atau berita melalui media online tidak hanya dilakukan oleh situs berita yang sudah dikenal oleh masyarakat, namun oleh siapa saja pengguna internet dapat berperan dalam penyebaran suatu informasi. Sayangnya banyak informasi atau berita yang disebarkan secara individu atau berkelompok lebih banyak yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya atau teindikasi hoax. Hoax merupakan informasi atau berita yang berisi hal-hal yang belum pasti atau yang benar-benar bukan merupakan fakta yang terjadi. Kemajuan dan ragam media komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan masyarakat dan negara menghadapi efek hoax sebagai akibat communication jammed yang terjadi di masyarakat. Communication jammed disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang tidak bisa dikontrol lagi. Communication traffic yang sangat rumit menyebabkan berita-berita hoax sebagai suatu tindakan konstruksi sosial sederhana, namun menjadi musuh masyarakat dan negara, mudah bermunculan (Bungin, 2017).

Asal kata hoax diyakini ada sejak ratusan tahun sebelumnya, yakni ‘hocus’ dari mantra ‘hocus pocus’, frasa yang kerap disebut oleh pesulap, serupa ‘sim salabim’. Bahkan Boese (2002) dalam bukunya “Museum of Hoaxes” menuliskan bahwa jauh sebelum itu, istilah hoax pertama kali terpublikasi melalui almanak atau penanggalan palsu yang dibuat oleh Isaac Bickerstaff pada tahun 1709 untuk meramalkan kematian astrolog John Partridge. Istilah yang semakna dengan hoax dalam jurnalistik adalah libel, yaitu berita bohong, tidak benar, sehingga menjurus pada kasus pencemaran nama baik. Hoax adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca untuk mempercayai sesuatu. Pemberitaan yang tidak berdasarkan kenyataan atau kebenaran (nonfactual) untuk maksud tertentu. Tujuan hoax adalah sekadar lelucon, iseng, hingga membentuk opini publik. Intinya hoax itu sesat dan menyesatkan, apalagi jika pengguna internet tidak kritis dan langsung membagikan berita yang dibaca kepada pengguna internet lainnya

Metodologi Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, yakni penelitian yang dilakukan melalui mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan, atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Sumber data penelitian ini adalah hasil hasil penelitian atau tulisan karya peneliti ataupun bahan pustaka yang ditulis dan dipublikasikan oleh seorang penulis yang tidak secara langsung melakukan pengamatan atau berpartisipasi dalam kenyataan yang ia deskripsikan, melainkan memberikan komentar atau kritik terhadap pendidikan karakter yang dirumuskan oleh Kemendikbud. Karena Penelitian ini merupakan penelitian Library Research, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data literer yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berkesinambungan (koheren) dengan objek pembahasan yang diteliti.

Hasil dan Pembahasan

Merajalelanya berita hoax ini tentu membuat masyarakat ragu dan semakin tidak percaya dengan semua berita yang ada. Oknum oknum tidak bertanggung jawab itu membuat semua citra sosial media menjadi buruk. Lalu bagaimana cara mengantisipasinya dan bagaimana peran literasi digital akan permasalahan ini ?

Cara mengantisipasinya bisa dilakukan dari 2 sisi yaitu sisi khalayak virtual dan sisi regulasi. Dari sisi khalayak, perlu adanya proses gerakan literasi media baru. Ini penting sebab tidak jarang audien yang tidak tau apa-apa menjadi bagian dari penyebar hoax. Dari sisi regulasi perlu punishment yang kuat tidak hanya berfokus pada Si Penyebar hoax tapi lebih menitikberatkan pada Si Pembuat isi hoax. Dari sisi hukum, UU ITE tetap perlu, namun juga perlu disediakan wadah/aplikasi/web atau apa saja namanya, yang didalamnya masyarakat virtual bisa melapor, mengecek kebenaran berita, mengklarifikasi informasi yang sudah didapat. Ini memang pekerjaan berat, tapi disinilah salah satu peran negara. Negara hadir disaat masyarakat resah atau ragu terhadap informasi atau berita-berita yang diterimanya.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, untuk mengantisipasi berita hoax dan ujaran kebencian di media sosial dan website, monitoring ataupun penyaringan tidak bisa menggunakan cara yang sama. Untuk situs pemerintah, bisa langsung dilakukan pemblokiran, namun untuk media sosial, kerjasama dengan penyedia layanannya harus dilakukan terlebih dahulu.

Ryan Ariesta mengatakan bahwa solusi yang tepat untuk mengurangi dampak hoax adalah pertama, berhati-hati dengan judul berita atau informasi yang provokatif, karena setiap judul yang memuat hal tersebut akan menyebabkan masyarakat mudah untuk terprovokasi dengan cepat. Kedua, cermat dalam melihat sumber berita. Hal tersebut penting untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat agar selalu melihat apakah sumber berita tersebut terjadi pada masa lampau, atau hanya berasal dari sumber yang tidak jelas asalnya. Ketiga, periksa fakta dan keaslian sebuah berita, karena berita adalah suatu informasi yang memuat faktual dan aktual, masyarakat diharapkan dapat melihat bahwa berita itu mengandung sebuah fakta yang relevan dan dengan data yang cukup. Keaslian juga merupakan hal yang penting dalam memilih berita. Masyarakat jangan mudah tertipu terhadap berita yang hanya merupakan aksi provokatif di media sosial (Ariesta, 2013).

Kesimpulan

Ada tiga pendekatan penting yang diperlukan untuk mengantisipasi penyebaran berita hoax di masyarakat yaitu pendekatan kelembagaan, teknologi dan literasi. Pendekatan kelembagaan, dengan terus menggalakkan komunitas anti hoax. Dari sisi pendekatan teknologi, dengan aplikasi hoax cheker yang bisa digunakan oleh masyarakat untuk mengecek kebenaran berita yang berindikasi hoax. Pendekatan literasi, dengan gerakan anti berita hoax maupun sosialisasi kepada masyarakat mulai dari sekolah hingga masyarakat umum yang ditingkatkan dan digalakkan, bukan saja oleh pemerintah tetapi juga oleh seluru lapisan masyarakat termasuk institusiinstitusi non pemerintah lainnya. Rekomendasi penelitian ini juga ditujukan kepada Kementerian Kominfo untuk membentuk badan independen yang melakukan pengecekan apakah berita tersebut bersifat hoax atau tidak.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 + 8 =