Literasi Digital Sebagai Upaya Menangkal Hoaks di Era Disrupsi

Maraknya hoaks atau berita bohong merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi negara kita. Hal ini antara lain dipicu oleh tumbuhnya fenomena “post truth” dan kemudahan penyebarluasan informasi melalui media sosial dan program chatting seperti WhatsApp.

Hoax secara sederhana didefinisikan sebagai informasi palsu, atau informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan. Berita tersebut sering menggunakan bahasa yang bombastis dan membesar-besarkan sesuatu seolah-olah itu akurat, tetapi pada kenyataannya tidak. Hoaks lebih mungkin menyebar di Indonesia ketika orang lebih sering menggunakan media sosial.

Mengapa hoaks menjadi begitu menyebar dan disebarluaskan akhir-akhir ini? Salah satu penjelasan yang mungkin tepat adalah dikarenakan dengan peningkatan penggunaan internet (terutama media sosial). Ini merupakan indikasi era disrupsi. Disrupsi memunculkan pola interaksi yang baru yang lebih imajinatif dan meluas. Disrupsi dapat mengubah Pendidikan, politik, bisnis, perbankan, transportasi, dan keagamaan.

Berkenaan dengan disrupsi, ada beberapa ciri disrupsi, misalnya masyarakat hidup pada era membuka aset konsumtif untuk digunakan bersama, berbagi dan berkolaborasi tanpa harus memiliki sumber daya sendiri. Teknologi masa lalu tidak memungkinkan untuk mendapatkan dan melakukan sesuatu dengan segera, harus melalui antrean sehingga memakan waktu. Berbeda dengan saat ini, konsumen bisa mendapatkan semua yang mereka butuhkan saat itu juga. Teknologi dan penggunaan big data memungkinkan kondisi ini.

Dapat disimpulkan dari ciri-ciri disrupsi bahwa seberapa cepat dunia berubah. Termasuk mengetahui bagaimana berkomunikasi secara online, yang dalam hal ini difasilitasi oleh media sosial. Media sosial tentu saja menghadirkan kendala di samping potensi yang luar biasa. Hoax paling banyak menyebar di media social seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapp. Beberapa orang percaya bahwa media sosial tidak memiliki batasan. Konsekuensinya, setiap orang merasa bebas melakukan apa saja, termasuk menyebarluaskan informasi yang masih belum jelas. Tidak heran jika ada orang-orang tertentu yang menggunakan media sosial untuk menyebarkan rumor dan ujaran kebencian dengan mudah.

Bagaimana memerangi hoaks atau informasi palsu di zaman kita yang serba cepat? Terdapat  berbagai cara yang dapat dilakukan, seperti meningkatkan literasi masyarakat melalui partisipasi aktif pemerintah, masyarakat, dan tokoh masyarakat, memfasilitasi kemudahan akses sumber informasi terpercaya pada setiap isu hoax, melakukan edukasi yang sistematis dan berkesinambungan, serta mengambil tindakan hukum yang efektif terhadap mereka yang menyebarkan hoax. Dengan literasi digital yang diberikan dapat mengajari anak-anak dan remaja cara menggunakan teknologi secara efektif, mereka dapat dihentikan dari perilaku berbahaya secara online, seperti menyebarkan informasi palsu, mengintimidasi, menghina orang lain, dan menggunakan bahasa yang tidak pantas.

Literasi digital didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan teknologi digital secara optimal. Literasi digital telah memberikan dampak yang positif terutama generasi muda yang diuntungkan untuk meningkatnya pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan dalam menggunakan media social yang menjadi sumber informasi bagi masyarakat. Mengingat interaksi mereka yang sering dengan media sosial, generasi muda dipandang lebih cenderung menyalahgunakan media sosial dan internet. Mereka harus dapat memahami posting media sosial yang kompleks karena ini yang diharapkan dari mereka. Literasi digital diperlukan dalam situasi ini.

Untuk memastikan media baru (internet) benar-benar bermanfaat bagi penggunanya, literasi digital dianggap mutlak diperlukan. Terlebih lagi ketika individu pada zaman sekarang sangat aktif dalam mencari informasi terkini. Di satu sisi, itu adalah pola pikir positif untuk aktif mencari informasi. Namun, orang yang aktif mencari informasi berisiko tersesat jika tidak memiliki literasi digital yang cukup. Hal ini dimaksudkan agar melalui literasi digital, masyarakat akan lebih jeli dalam memperoleh informasi dan tidak terlalu bergantung pada satu sumber saja (single perspective).

Implementasi Literasi Digital untuk Menangkal Hoaks di Era Disrupsi

Mengembangkan delapan komponen literasi digital merupakan salah satu upaya yang dapat digunakan untuk menangkal hoaks, diantaranya adalah cultural (memahami konteks), cognitive (memperluas pemikiran), constructive (menciptakan hal-hal positif), communicative (terampil berjejaring dan berkomunikasi), confident (percaya diri dan bertanggung jawab), creative (melakukan hal-hal baru), critical (kritis menyikapi konten), dan civic (mendukung pembentukan masyarakat sipil). Pengembangan literasi digital dapat diarahkan kepada anak muda yang sering menggunakan internet (media sosial). Sekolah, universitas, dan institusi lain semuanya dapat berpartisipasi dalam pertumbuhan ini. Menjadikan literasi digital sebagai mata pelajaran atau mata kuliah.

Elemen cultural diartikan dengan memahami berbagai macam konteks digital. Misalnya seorang mahasiswa yang dapat mengakses perkuliahan melalui e-learning atau sebagai ilustrasi yang lebih lugas, seseorang bisa menghubungi teman dan rekan kerjanya menggunakan Facebook. Singkatnya, ini berkaitan dengan “melek internet” dan masalah teknis. Dengan kata lain diyakini bahwa dengan literasi digital seseorang tidak akan buta di depan internet yang begitu banyak variasi dan perkembangannya yang pesat.

Faktor selanjutnya adalah cognitive yang dapat digambarkan sebagai pola pikir yang memperluas cara pandang seseorang. Elemen ini sebagai komponen dasar literasi. Pemikiran seseorang harus dapat tumbuh melalui literasi. Orang lebih berhati-hati dalam bertindak ketika mereka memiliki perspektif yang luas tentang dunia. Jika konteks digital dilibatkan, diketahui bahwa media sosial dan dunia digital memiliki masalah serius. Selain hoaks, namun radikalisme, ujaran kebencian, cyberbullying, kecanduan gadget, pornografi, dan lain-lain. Seseorang akan lebih terlindungi saat mengakses internet jika mereka memiliki pengetahuan yang luas.

Menciptakan hal positif atau constructive melibatkan penggunaan internet untuk melakukan tugas yang bermanfaat. Kelebihan dan kekurangan internet, bagaimanapun dikembalikan kepada pengguna karena merupakan sumber daya yang bebas dinilai. Akibatnya, literasi digital terus memotivasi pengguna untuk menghasilkan hal-hal yang bermanfaat. Banyak individu telah mengembangkan cara-cara memanfaatkan internet untuk kebaikan. Salah satu contohnya adalah munculnya gerakan amal yang didukung oleh media sosial.

Seseorang yang melek digital harus mampu berkomunikasi secara efektif, bertanggung jawab, dan mampu berinovasi berkat elemen communicative, confident, dan creative. Sedangkan komponen critical mengamanatkan agar pengguna internet menggunakan nalar kritisnya selain menggunakan ibu jari untuk mengoperasikan komputer atau perangkat elektronik lainnya. Terakhir, civic mengacu pada penggunaan internet sebagai alat untuk meningkatkan masyarakat sipil atau tatanan social yang lebih baik.

Komponen penting literasi digital adalah bersikap kritis atau kritis dalam menyikapi sebuah konten. Menjadi kritis berarti menghindari menelan materi atau informasi yang belum dipastikan kebenarannya dari internet, termasuk dari media sosial dan program obrolan. Pengguna internet diimbau untuk selalu kritis dan waspada, terutama jika menyangkut konten yang terlalu bombastis, tidak logis, atau kebencian secara halus,, karena kemungkinan konten tersebut mengandung rekayasa atau fakta palsu.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

67 − 65 =