Kasus Rabun Jauh usia anak meningkat, Salah “Hpnya” atau “Orang tuanya”?

Artikel ini saya buat sekaligus sebagai pendapat keresahan saya mengenai kesehatan mata khususnya anak-anak di Indonesia, apakah hal ini akan terus berlanjut dan memburuk…

Saat ini, handphone telah menjadi sebuah barang yang wajib dimiliki oleh tiap kalangan. Semua bisa memilikinya, dengan berbagai pilihan handphone dengan range terendah hingga yang paling mahal, competitor seolah bersaing, “memancing dan merayu” setiap insan untuk membelinya. Dan seolah tanpa batas, handphone juga pada akhirnya telah menjadi sebuah gaya hidup yang secara tidak langsung mampu menunjukkan status sosial di masyarakat. Namun seperti hal-hal lainnya, handphone pun ibarat pisau bermata dua, menjadikan hidup menjadi lebih produktif dan menyambungkan kita dengan dunia luar, atau, membuat hidup kita semakin terpuruk akibat kecanduan yang berlebihan terhadap handphone dan dunia yang ada di dalamnya. Salah satunya adalah kasus rabun jauh pada usia anak.

Mungkin sering kali kita melihat sendiri, di suatu tempat yang kita kunjungi, entah itu tempat makanan, toko kelontong, minimarket, mall, atau rumah saudara terdekat, kita sedikit menjadi terfokus kepada satu hal yang membuat banyak pertanyaan di pikiran, “mengapa anak seusia itu sudah menggunakan kacamata yang bahkan lensanya lebih besar daripada kacamata orang tua kita yang ada di rumah?”, “Kok bisa sih masih kecil udah pake kacamata”, “Sayang sekali indra penglihatan yang harusnya masih bagus pada usia segitu malahan udah mulai pake kacamata”, “Bagaimana nanti jika ia kelak sudah dewasa dan harus menggunakan kacamata yang lebih tebal lagi dari sekarang” dan “Dimana peran orang tuanya ?…”

Tidak dipungkiri bahwa seiring berjalannya waktu dan pesatnya perkembangan teknologi saat ini, semua kalangan berlomba untuk bisa menggunakan teknologi yang ada. Bahkan di masa sekarang ini, penggunaan gadget sudah diberikan pada saat usia anak masih di bawah 8 tahun, di mana usia tersebut masih sekitar kelas 3 SD. Alasan dan motivasi dari pemberian gadget tersebut pun beragam, ada orang tua yang memang ingin memberikan gadget tersebut sebagai penenang anak, ada orang tua yang memberikan hp tersebut sebagai hadiah, dan ada juga orang tua yang terpaksa memberikan hp karena dimintai sang anak dan jika tidak diberi, maka anak akan menjadi tantrum dan tidak bisa mengendalikan emosinya. Hal ini diperkuat dengan penelitian mengenai pemberian gadget kepada anak oleh orang tua yang dilakukan oleh Novianti & Grazia (2020), di mana pada survey tersebut, ditemukan hasil berupa 40% anak akan mengamuk jika tidak diberikan gadget sedangkan motivasi orang tua untuk memberikan gadget tersebut adalah agar supaya anak lebih pintar (22%), supaya anak tidak rewel (21%), dan lain-lain (34%). Dari penelitian di atas menunjukkan bahwa pemberian gadget kepada anak adalah untuk penenang pada saat anak rewel dan juga penenang pada saat orang tua sedang sibuk bekerja atau tidak ada bersama anak.

Permasalahan pun muncul ketika anak yang sudah sering diberikan gadget ini mulai ketergantungan dan tidak bisa lepas dari tontonan atau mainan di gadget tersebut. Seorang anak kecil sudah mulai asyik dengan dunianya sendiri, melupakan dunia bermain bersama teman-teman sebaya atau bahkan menjadi acuh tak acuh terhadap orang lain dan yang paling parah adalah acuh terhadap kedua orang tuanya. Banyak sekali kita menemukan kasus, di mana ketika anak sudah diberikan gadget, untuk sekedar disapa atau dipanggil, bahkan mereka tidak menoleh sedikit pun. Ketika orang tua mengajak mengobrol sang anak, jawaban sang anak terkesan ketus. Ketika orang tua menyuruh sang anak untuk makan, tidur, atau belajar, sang anak malah acuh, ketus, bahkan bisa marah hanya karena diminta untuk meninggalkan gadgetnya sebentar saja. Sudah begitu ditambah dengan faktor frekuensi penggunaan gadget yang berlebihan, posisi yang tidak benar dan intensitas pencahayaan yang tidak baik, semakin memperparah efek dari ketergantungan ini. Matanya dan telinganya terfokus kepada satu hal yang nantinya akan memberikan konsekuensi yang besar terhadap kehidupan anak tersebut ke depan, yaitu risiko gangguan penglihatan berupa rabun jauh, pengendalian emosi yang cenderung lemah.

Wandini dkk. (2020) dalam penelitian menemukan hasil bahwa setidaknya dari 30 siswa SD, 8 orang telah menggunakan kacamata dan 21 orang lainnya sudah menggunakan gadget. Pada penelitian yang secara khusus mengkaji hubungan antara penggunaan gadget terhadap kejadian miopia (rabun jauh) seperti yang dilakukan oleh Nisaussholihah dkk. (2020) pada subjek anak sekolah (4-17 tahun), ditemukan hasil yaitu anak-anak yang cenderung menggunakan gadget dengan  posisi duduk (61,3 %), menggunakan jarak ≥30 cm (54,8 %), dengan durasi selama ≥2 jam (54,8 %), dan menggunakan pencahayaan ruang yang redup (51,6 %) dapat menyebabkan anak tersebut memiliki visus miopia ringan (54,8 %).

Dari sedikit data dan penelitian di atas, sudah dapat disimpulkan bahwa penggunaan gadget yang berlebihan, tidak diatur dan tidak didampingi memberikan efek yang luar biasa terhadap anak. Ini tentu menjadi suatu tantangan bagi orang tua, bagaimana dapat mengatur waktu untuk setidaknya dapat menemani dan mendampingi anak dalam masa kecilnya di sela-sela pekerjaannya. Memastikan masa depan anak yang baik dengan cara bekerja keras untuk keluarga memang penting, namun memastikan kehidupan masa kecil anak yang penuh kasih sayang dan memberikan waktu yang cukup untuk sekedar bertanya dan mendengar cerita anak juga tidak kalah pentingnya. Semua hal ini dilakukan sekaligus bertujuan untuk mengurangi ketergantungan anak terhadap gadget. Jika pun diberikan karena terpaksa, berikan pemahaman, pengertian, serta aturan-aturan yang sekiranya dapat dimengerti oleh anak agar meminimalisir kemungkinan anak terkena gangguan kesehatan mata seperti rabun jauh pada usia anak hingga remaja.

Dan jika kita kembali ke pertanyaan awal, sebenarnya tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Gadget hanya sebuah alat yang dikendalikan dan dioperasikan oleh orang yang menggunakannya, apakah penggunaannya dapat memiliki konsekuensi yang positif atau negatif, itu kembali lagi kepada yang menggunakannya. Orang tua hanya ingin memastikan kehidupan yang layak bagi anak-anaknya dengan cara bekerja setiap harinya. Sering kali orang tua memiliki dilema, bekerja keras hingga terkadang lupa ada sosok dirinya yang dibutuhkan oleh anak di rumah, atau bekerja seperti biasa namun terkadang ada hal yang dirasa kurang dan merasa gagal menjadi orang tua karena kekurangan tersebut. Oleh karena itu dalam menyikapinya, diperlukan pemahaman yang baik antara orang tua dan anak terutama dalam menyikapi perkembangan teknologi yang ada sekarang.

“Warisan terbaik yang dapat diberikan orang tua kepada anak-anaknya adalah beberapa menit dari waktunya setiap hari.”

Orlando Aloysius Battista.

Link video:

Referensi

Nisaussholihah, Nadia & Faradis, R & Roesbiantoro, Andi & Sajid Muhammad, David & Hotimah, Masdan & Salim, Hotimah. (2020). Pengaruh Penggunaan Gadget Terhadap Kejadian Miopia Pada Anak Usia Sekolah (4-17 Tahun) Di Poli Mata Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. Jurnal Kesehatan Islam: Islamic Health Journal. 9. 55-59. 10.33474/jki.v9i2.8872.

Novianti, Ria & Garzia, Meyke. (2020). Penggunaan Gadget pada Anak; Tantangan Baru Orang Tua Milenial. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini. 4. 1000. 10.31004/obsesi.v4i2.490.

Wandini, R., Novikasari, L., & Kurnia, M. (2020). Hubungan Penggunaan Gadget Terhadap Kesehatan Mata Anak Di Sekolah Dasar Al Azhar I Bandar Lampung. Malahayati Nursing Journal, 2(4), Hal 810-819. doi:https://doi.org/10.33024/mnj.v2i4.3049

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

55 − = 54